Kontroversi Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto: Pakar Hukum Soroti Akankah Keadilan Dipertaruhkan?

Abolisi dan Amnesti
Abolisi Tom & amnesti Hasto picu debat hukum & moral. Pakar hukum Gofur: Apakah keadilan masih berpihak pada rakyat. Foto: Istimewa
Ruang Nurudin
Ruang Nurudin
Print PDF

Ruang co.id – Pemberian abolisi terhadap bebasnya Thomas Lembong dari tuntutan pidana korupsi, dan amnesti terhadap Hasto Kristiyanto mencuat ke ruang publik, memantik perdebatan etik, hukum, dan moral di tengah semangat pemberantasan korupsi dan penguatan demokrasi pasca rezim.

Ahli hukum pidana magister lulusan Univ. Airlangga (Unair), Abd. Gofur, SH., MH., memberikan pandangan tajam yang menyentuh inti nurani keadilan bangsa ini.

Menurut Gofur, baik abolisi maupun amnesti merupakan hak prerogatif Presiden yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 dan sesuai dengan UU Darurat No. 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi. Namun, pemberian keduanya bukan tanpa batas.

ā€œAbolisi maupun amnesti bukan produk politik, tetapi harus diletakkan dalam kerangka keadilan hukum yang objektif dan tidak diskriminatif,ā€ ujarnya dalam wawancara eksklusif Ruang co.id.

Abolisi Tom Lembong: Risiko Menghapus Akuntabilitas?

Polemik bermula saat beredar kabar bahwa Tom Lembong, eks pejabat tinggi pemerintahan, mantan menteri perdagangan di rezim Presiden Jokowi, telah menerima abolisi atas kasus dugaan korupsi atau pelanggaran hukum strategis.

Saat itu Ia sebagai Menteri Perdagangan, Mendag RI, dalam hal kebijakannya impor gula, yang dianggap jaksa penuntut dari pengadilan negeri tingkat pertama di Jakarta, ada temuan kerugian negara.

Gofur menilai, jika benar kasus yang didakwakan terhadap Tom Lembong itu terkait tindak pidana korupsi, maka pemberian abolisi adalah sudah sangat tepat.

ā€œKorupsi adalah extraordinary crime, terkait perkara Tom Lembong, sudah pantas dijadikan obyek abolisi, kecuali ada alasan luar biasa yang bisa dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum,ā€ tegas AGP Law Office Jakarta ini.

Ia menambahkan, jika abolisi dijadikan tameng politis, maka publik bisa kehilangan kepercayaan terhadap komitmen negara dalam pemberantasan korupsi.

Baca Juga  Prof. Hufron Bongkar Dampak Pecahnya Kotak Suara: Demokrasi Dijerat Yuristokrasi?

ā€œAbolisi bukan penghapus dosa, ia harus diuji dalam cahaya transparansi secara terang benderang,ā€ tambah Gofur.

Amnesti Hasto: Rehabilitasi atau Justifikasi?

Sementara itu, amnesti terhadap Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan yang tengah tersandung perkara dugaan korupsi menghalangi penyidikan KPK, menuai polemik serupa.

Menurut Gofur, amnesti harus diberikan atas tindak pidana yang bermuatan politik atau dianggap sudah tidak relevan dengan semangat rekonsiliasi kebangsaan.

ā€œKalau kasusnya berkaitan dengan obstruction of justice, maka amnesti bisa berbahaya bagi integritas penegakan hukum,ā€ ujar alumnus S1 ilmu hukum UWK Surabaya.

Ia menegaskan bahwa justifikasi amnesti tidak boleh semata demi stabilitas politik jangka pendek.

ā€œKita sedang menata ulang peradaban hukum, bukan sekadar memenangkan narasi politik,ā€ katanya.

Rambu Konstitusional dan Hati Nurani Publik

Gofur mengingatkan bahwa setiap pemberian abolisi dan amnesti wajib melewati pertimbangan Mahkamah Agung serta konsultasi dengan DPR.

ā€œTapi lebih dari itu, ia juga harus melewati saringan akal sehat rakyat dan nurani konstitusi. Jangan sampai hukum menjadi instrumen elite untuk melupakan keadilan,ā€ pungkasnya.

Dalam situasi politik yang kian sensitif, suara publik dan akademisi seperti Gofur menjadi jangkar etis agar keadilan tidak diseret ke kubangan kepentingan.

Pertanyaannya kini, apakah kita masih percaya bahwa hukum adalah panglima, ataukah ia telah direduksi menjadi pelayan kekuasaan dari perlakuan kesewenangan hukum sebelumnya?

Public/ Social Punishment untuk Public Trust pada Hukum dan Politik

Hukuman publik atau sosial masyarakat atau dalam bahasa asingnya Public Punishment, menurut Gofur, justru lebih berbahaya ketimbang hukuman murni pidana atau perdata.

Hukumannya tentu juga secara politik, terhadap orang yang perlakuannya sewenang – wenang.

Nantinya, kata Gofur, akan diganjar oleh publik, bahwa dia tidak dipercaya lagi sebagai pejabat atau mantan pejabat.

Baca Juga  Pilu Nasib Tanah Sengketa Surabaya Disulap Jadi Bisnis Kost

Tidak lagi dipercaya publik sebagai pemangku kepentingan rakyatnya atau kebijakan atau stakeholder, atau orang yang sebagai seseorang yang sedang mempunyai kekuasaan atau pernah berkuasa.

ā€œItu nanti akan dicap sama orang bahwa ini pejabat tidak benar, ini pejabat ini ternyata setelah menjabat melakukan kesewenang-wenangan kepada warganya. Sedikit-sedikit warganya dilaporkan,ā€ ujar Gofur.

Begitu sebaliknya, terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perolehan amnesti itu, hukuman sosial yang nantinya berbicara.

Tentu juga secara politis, bahwa publik akan menyoroti dia sebagai pemimpin yang tidak amanah.

Memang menurutnya, konsep hukum itu kalau ditegakkan akan sangat berbahaya. Jikalau benar-benar murni ditegakkan secara hukum.

Ia mengatakan, hukuman sosial itu justru malah lebih berbahaya daripada hukum murni.

ā€œDia atau mereka nggak dianggap apa, nggak dipercaya lagi, akan kemudian dijauhi, kalau satu desa tidak welcome sama sama Kadesnya, Itu justru malah sebetulnya lebih berbahaya hukuman sosial itu ketimbang hukuman-hukum pidana atau perdata itu sendiri,ā€ terang pungkasnya.

Oleh karenanya, politik itu bertalian erat dengan public trust, kepercayaan publik, bahwa hukuman – hukuman sosial itulah, yang kemudian ditempelkan kepada publik figur secara politis itu sendiri.