Sidang Tipikor RPHU Lamongan: Dakwaan Tanpa Dasar yang Menggantung di Ruang Pengadilan

sidang tipikor RPHU Lamongan
Sidang kasus korupsi RPHU Lamongan berlanjut, namun tak ada bukti keterlibatan Moch. Wahyudi. Kuasa hukum sebut dakwaan lemah. Foto: Istimewa
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Persidangan kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) Lamongan kembali menyisakan tanda tanya besar di Pengadilan Tipikor Surabaya. Padahal, sidang yang telah memasuki tahap pemeriksaan saksi ini sama sekali tidak menguatkan posisi terdakwa, Moch. Wahyudi, sebagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan proyek. Selasa, (29/7/2025).

Dalam persidangan bernomor 72/Pid.Sus-TPK/2025/PN Sby, jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan sejumlah saksi kunci, termasuk Heri Prabowo, Hari Lutfiauto, Baihaqi, dan Vivia Syauqi. Namun, yang mengejutkan, tidak satu pun dari mereka menyebut nama Wahyudi—sang terdakwa yang menjabat sebagai Kepala Dinas sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Heri Prabowo, salah satu pelaksana lapangan, justru mengaku lebih sering berkoordinasi dengan PPTK Nur Jazid, Asnah, Doni, dan konsultan pengawas Rio. Ia menegaskan bahwa pelaksanaan fisik proyek RPHU Lamongan telah sesuai dengan gambar dan Rencana Anggaran Biaya (RAB), meski ada beberapa pekerjaan yang belum tuntas akibat keterbatasan waktu.

Kasus ini bermula dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Februari 2022 yang melaporkan dugaan kerugian negara sebesar Rp 92 juta. Namun, Muhammad Ridlwan, S.H., penasihat hukum Wahyudi, membongkar kelemahan perhitungan ini.

Baca Juga  Gurita Korupsi RPHU Lamongan: PPTK Diduga Dalang di Balik Skema Proyek Fiktif

Menurutnya, Kantor Akuntan Publik (KAP) yang melakukan audit justru keliru mengidentifikasi item-item proyek. Contoh nyata adalah bak cuci ban mobil yang dianggap sebagai pemborosan, padahal struktur betonnya justru diperlukan untuk menopang kebutuhan parkir kendaraan.

“Ini bukan kerugian, melainkan penyesuaian teknis. Hitungan KAP tidak akurat dan tidak terbukti di persidangan,” tegas Ridlwan.

Pernyataan paling menohok datang dari Ketua Majelis Hakim, Ni Putu Sri Indayani, SH. Dengan nada tegas namun santai, ia menyatakan, “Selama persidangan, nama Pak Wahyudi nggak pernah disebut ya. Cukup ya.”

Ucapan ini semakin mempertegas bahwa dakwaan terhadap Wahyudi tidak memiliki dasar kuat. Dalam hukum pidana, actus reus (tindakan) dan mens rea (niat jahat) harus terbukti. Namun, fakta di persidangan justru menunjukkan ketiadaan kedua unsur tersebut.

Baca Juga  Skandal RPHU Lamongan Rp5 M: Saksi Bisu, Amplop 'Hantu', dan Sandiwara Korupsi yang Memalukan

Pertama, tidak ada bukti langsung yang mengaitkan Wahyudi dengan pelaksanaan teknis proyek. Kedua, perhitungan kerugian negara oleh BPK dan KAP ternyata cacat secara metodologi. Ketiga, tidak ada saksi yang menyatakan keterlibatan Wahyudi dalam pengambilan keputusan teknis.

“Klien kami hanya menjalankan tugas administratif sebagai PPK. Tidak ada itikad buruk, tidak ada tindakan melawan hukum,” tegas Ridlwan.

Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana sebuah dakwaan korupsi bisa rapuh jika tidak didukung bukti kuat. Di tengah marutnya penegakan hukum di Indonesia, sidang RPHU Lamongan justru menunjukkan betapa pentingnya kehati-hatian sebelum menjerat seseorang sebagai terdakwa.

Tim kuasa hukum Wahyudi berharap majelis hakim berpihak pada keadilan, bukan sekadar tekanan publik atau politisasi kasus.

Baca Juga  Konspirasi RPHU Lamongan Terbongkar: Pejabat Bersih Dijadikan Kambing Hitam?