Tiga terdakwa Tindak Pidana Penjualan Transplantasi Ginjal, yakni MBA, AFH, dan AWSR, saat ini jalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo. Pasutri dari tiga terdakwa, pernah nyaris lakukan percobaan bunuh diri. Kini tinggal menghitung jam lagi, majelis hakim yang menyidangkan agendanya mengetuk Palu Keadilan bagi para terdakwa. Akankah ketiga tersangka nantinya divonis putusannya sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU)? Yaitu angka 7 tahun penjara dan denda untuk MBA, dan 8 tahun penjara dan denda untuk terdakwa pasutri? Ataukah majelis hakim punya angka hukuman lain lebih tinggi dari JPU? Atau mungkin sebuah keajaiban datang dari Dewi Fortuna, sekalipun dengan mata ditutup, memvonis yang mengejutkan di Sidang Putusan PN nantinya?
Sidoarjo, Ruang.co.id ā Banyak fakta mencengangkan, terungkap dalam persidangan kasus dugaan tindak pidana terkait transplantasi ginjal, yang rencananya berlangsung di sebuah rumah sakit bernama Jaipee Hospital di New Delhi, India, majelis hakim segera mengumumkan putusannya di Pengadilan Negeri Sidoarjo.
Dari rangkaian awal sidang, keterangan para terdakwa, para saksi dan bukti – bukti memaparkan. Fakta persidangan telah membuka tabir rasa sebuah keadilan.
Yang menarik menjadi perhatian netizen dan publik dari kasus ini, peran vital saksi bernama Siti Nurhalizah,S.I.Kom.,M.Sc., alias Nunu, pernah hadir sebagai saksi korban, di hadapan majelis hakim dan tim kuasa hukum para terdakwa.
Moch. Noer Alim Qolby,SH.,LLlM., Kakak Nunu, juga sempat mencoba dihadirkan di persidangan, namun gagal lantaran alasan tengah menjalani studi S3 (Strata Doktoral) di perguruan tinggi di luar negeri.
Dalam fakta persidangan, keterangan Nunu menyebutkan, yang mencari Pendonor Ginjal untuk ibundanya, pencarian lewat postingannya di sebuah grup āJual Beli Ginjalā di Facebook (FB).
Dalam fakta persidangan pula, Nunu mengakui bersepakat untuk membiayai dan telah mentransfer uang senilai Rp300 juta dari total Rp650 juta, ke No. rekening terdakwa AFH.
Uang itu sebagai biaya operasional saksi Rina Alfia Hayuning Mas (istri terdakwa MBA), terdakwa MBA, AFH, dan AWSR, serta seorang penerjemah bahasa yang ditunjuk AFH.
Uang itu, untuk kebutuhan keberangkatan kelima orang tersebut, hingga sampai tujuan di negeri Mahabharata. Bukti itu juga sudah dihadirkan di persidangan.
Namun ironisnya, selama proses sidang, tim kuasa hukum terdakwa maupun netizen dan publik bertanya, mengapa Nunu tidak dijadikan tersangka?, melainkan hanya saksi.
Hal yang menggelitik pula, dalam benak dan pikiran ahli hukum pidana, mengapa JPU menerapkan jeratan pasal tuntutan dan ancaman hukumannya dengan UU TPPO?
Kasus TPPO ini bermula akhir September 2024, saat Nunu mencari informasi transplantasi ginjal di grup Facebook āJual Beli Ginjalā.
Ia menemukan postingan akun yang mengaku Rina Alfia Hayuning Mas, namun ternyata dikelola terdakwa MBA.
Postingan itu menawarkan donor ginjal perempuan, 29 tahun, golongan darah O.
Nunu langsung meminta nomor WhatsApp, lalu berkomunikasi dengan MBA.
Awalnya, Nunu berencana operasi di Singapura. Namun, MBA menawarkan jalur India dan menghubungkan Nunu dengan AFH.
Awal Oktober 2024, Nunu mendapat nomor AFH. Ia meminta pertemuan untuk membahas rumah sakit di India.
Seminggu kemudian, AFH dan AWSR, serta MBA dan Rina, datang ke rumah Nunu di Makassar, Sulawesi Selatan.
Di sana membahas mendalam dan detail prosedur, biaya, dokumen perjalanan, visa, tiket, akomodasi, hingga kompensasi untuk ājual beli ginjalā.
Kesepakatan pun tercapai. Biaya total Rp650 juta. Angka itu mencakup seluruh pengurusan administrasi, transportasi, penginapan, perawatan medis, hingga imbalan jasa.
Bahkan Nunu minta tolong pada kakaknya, yang saat itu kebetulan ada urusan di Surabaya, sekaligus datang memastikan keberadaan ke rumah kontrakan tinggal AFH dan AWSR pasutri ini.
⢠Lanjut cerita, Nunu membayar Rp300 juta di muka kepada AFH. Di luar itu, ada kesepakatan khusus antara Nunu, MBA, dan Rina, kompensasi Rp650 juta yang dibayar bertahap enam termin, mulai dari Rp2 juta hingga Rp250 juta, dengan pembayaran terakhir setelah operasi.
Fakta lain yang mencuat, AFH dan AWSR hanya perantara. Keduanya dalam kondisi terhimpit hutang jutaan rupiah, sehingga tergiur tawaran Nunu.
Bahkan, keterangan saksi dan ahli menguatkan, bahwa AFH bukan inisiator atau pihak yang mendapat keuntungan besar.
Semua biaya, perencanaan, dan kontrol penuh ada di tangan Nunu.
Ahli hukum pidana Dr. Bambang Suheryadi, S.H., M.H. juga menyatakan, dalam kasus TPPO berbasis kebutuhan ekonomi, perlu mempertimbangkan sikap batin pelaku.
Menurutnya, sanksi pidana seharusnya menjadi langkah terakhir, sejalan dengan asas ultimum remedium.
Meski demikian, hingga kini Nunu tetap aman dari jerat hukum. Perannya yang mengatur, mendanai, hingga menghubungi pihak-pihak terkait hanya disebut dalam BAP dan keterangan saksi, tanpa berlanjut menjadi status tersangka.
Dr. Bastianto Nugroho, SH., M.Hum yang juga dosen Univ. Merdeka (Unmer) Surabaya, hadir dalam persidangan menyampaikan pendapatnya, bahwa tindakan seseorang yang dengan maksud menolong orang lain.
Akan tetapi, apabila tindakan menolongnya, merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
Maka tindakan orang yang menolong tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam peraturan tersebut.
āJadi tindakan saksi Siti Nurul Haliza, yang tujuannya hendak menyembuhkan sakit ibu kandungnya yang sedang mengalami gagal ginjal dengan cara melakukan pembelian ginjal dimana membeli ginjal merupakan tindakan yang dilarang dan dapat dijatuhi sanksi berdasarkan peraturan perundang-undanganan. Secara hukum saksi korban Nunu, dapat dijatuhi sanksi pidana, ujar Dosen Ilmu Hukum Unmer Surabaya itu.
Pandangan ilmiah lain, datang dari Abd. Ghofur,SH.,MH. Ia berpendapat, penerapan tuntutan JPU itu dinilai kurang tepat sasaran. Sekalipun ada sedikit pasal yang mengaturnya, namun tidak spesifik mendalam penjelasan pasal hukumnya.
āKiranya kurang tepat jika dugaan jual beli ginjal dengan tuntutan dasar rujukan hukumnya pakai UU TPPO. Pada dua Pasal tuntutan itu, secara keilmuannya kurang spesifik. Dalam penjelasan umum dan pendalamannya, UU TPPO itu lebih spesifik mengatur jual beli orang dan perbudakan WNI dan dengan tujuan melindungi ke luar negeri,ā ungkap Gofur.
Hingga kini, ironi hukum ini masih membekas di ruang sidang dan hati publik, mengapa pendana yang mengatur segalanya justru aman, sementara perantara miskin harus menanggung hukuman?
Terdakwa Pasutri Pernah Nyaris Bunuh Diri
Supolo Setyo Wibowo, S.H., M.H. dan tim hukum dari Graha Keadilan Law Firm Surabaya, yang menanganinya, terutama terhadap terdakwa pasutri, AFH dan AWSR.
Ia dan timnya ditunjuk dan diberi kuasa oleh terdakwa pasutri ini, menggantikan tim kuasa hukum sebelumnya, saat awal pemberkasan untuk dijadikan Berkas Acara Pidana (BAP) dari Polda Jatim, sebelum dilimpahkan ke kejaksaan untuk persidangan.
Supolo dan timnya meneruskan sisa proses penyidikan Polda Jatim hingga jadi BAP dan P21.
Supolo dan timnya membenarkan, kalau pasutri kliennya nekat melakukan percobaan bunuh diri.
Keduanya mengatakan ke Supolo, buat apa hidup kalau semuanya sudah hancur lebur. Keluarga besarnya sudah membenci dan menjauhi pasutri ini, lingkungan rumahnya sudah mengetahui semuanya, dan kasusnya masuk berita dimana ā mana.
āKejadian percobaan bunuh diri itu saat dalam sel tahanan Polda Jatim. Aparat yang mengetahui awal, kalau mereka berdua mau gantung diri, dengan tali nggak tau dia dapat dari mana?,ā ungkap Supolo.
āBeruntung ada yang mengetahui dan langsung mencegahnya. Klien saya pasutri ini akhirnya nyaris bunuh diri. Kami diberitahu kejadian itu, langsung meluncur menemui dan menenangkan untuk bangkit menghadapi apapun cobaan hidup mereka,ā tukasnya.
Secara intensif, tim Supolo memberikan semacam trauma healing pada pasutri ini.
Hingga kemudian AFH dan AWSR perlahan kembali bangkit menghadapi kenyataan hidupnya.
Dalam sidang replik atau jawaban JPU dari pembelaan tim kuasa hukum terdakwa, berlangsung Selasa dua pekan lalu.
Ketiga terdakwa, dari balik jeruji Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II Sidoarjo kota, mereka menuliskan pesan permohonan terakhirnya.
Tak terkecuali terdakwa Pasutri, melalui terdakwa AFH, dengan langkah tegap sedikit goyah, lantaran satu ginjalnya sudah didonorkan.
Ia dengan cukup lantang bercampur suara gemetar, AFH membacakan permohonan terakhirnya sebanyak lima lembar pada majelis hakim.
Kini nasibnya akan ditentukan oleh majelis hakim, rencananya pada Selasa (12/8/2025). Hanya majelis hakim yang tahu apa putusan ganjarannya pada ketiga terdakwa ini.

