Prof. Dr. Hufron Ingatkan DPR Kembali ke Jati Diri

seruan bubarkan DPR
Prof. Dr. Hufron, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Foto: Istimewa
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Seruan “bubarkan DPR” yang kerap bergema di ruang publik mendapat sorotan khusus dari pakar hukum tata negara. Guru Besar Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Profesor Doktor Hufron, memberikan penjelasan mendalam bahwa seruan ini tidak boleh dimaknai secara harfiah. “Seruan untuk membubarkan DPR itu jangan dibaca secara harfiah karena sebenarnya ini lebih merupakan protes keras bahwa DPR tidak menjalankan tugas dan fungsinya secara maksimal,” tegasnya. Esensi dari teriakan masyarakat itu adalah sebuah teguran moral keras agar DPR kembali bekerja maksimal untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya. Rabu, (27/8/2025).

Prof. Dr. Hufron menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial murni pasca amandemen UUD 1945. “Dalam sistem presidensial, Indonesia tidak mengenal mekanisme mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem parlementer,” jelasnya. Presiden tidak dapat dijatuhkan dengan alasan politik semata, dan sebaliknya, Presiden juga tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan DPR. “Pasal 7C UUD 1945 sengaja dibuat sebagai pagar konstitusi untuk mencegah pengalaman kelam masa lalu terulang kembali,” ungkap pakar hukum tata negara ini. Pasal ini lahir dari sejarah konstitusional Indonesia yang perlu dipahami sebagai bentuk perlindungan terhadap stabilitas sistem pemerintahan.

Baca Juga  Prof. Dr. Hufron Beberkan Dasar Hukum Royalti Musik untuk Bisnis

Menurut Prof. Dr. Hufron, Dewan Perwakilan Rakyat memiliki tiga fungsi utama yang menjadi pilar tugasnya. “Tiga fungsi DPR itu adalah fungsi legislasi, kemudian fungsi budgeting atau penganggaran dan fungsi controlling,” paparnya. Sayangnya, dalam praktiknya, fungsi pengawasan DPR dinilai sangat lemah. “Dalam fungsi controlling, ini menurut banyak pengamat termasuk lemah, tidak ada check and balancing system,” kritik Guru Besar Untag Surabaya ini. Berbagai kebijakan pemerintah sering disetujui tanpa proses pengawasan yang mendalam. Kelemahan inilah yang memicu kekecewaan publik dan erosi kepercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif.

Fungsi perwakilan adalah jiwa dari Dewan Perwakilan Rakyat. Prof. Dr. Hufron mengingatkan bahwa esensi perwakilan ini sering terabaikan. “DPR itu kan Dewan Perwakilan Rakyat, ada kata perwakilan. Tapi kesannya DPR lebih merupakan penyambung lidah elit atau penyambung lidah partai politik ketimbang penyambung lidah rakyat,” tegasnya. Beberapa isu strategis nasional yang menyangkut hajat hidup orang banyak, justru tidak mendapat respons memadai dari DPR. “Mestinya DPR hadir dalam konteks kepentingan rakyat seperti ini,” tegas pakar hukum tata negara ini. DPR seharusnya menjadi juru bicara rakyat yang aktif menyuarakan kepentingan konstituennya.

Baca Juga  Amnesti dan Abolisi untuk Kasus Korupsi: Preseden Baru atau Intervensi Politik? Ini Analisis Prof. Dr. Hufron

Pada akhirnya, seruan bubarkan DPR adalah cerminan dari kekecewaan publik yang mendalam. Prof. Dr. Hufron menyatakan bahwa “seruan untuk bubarkan DPR itu lebih kepada protes keras agar DPR kembali kepada fungsinya sebagai dewan perwakilan rakyat.” Masyarakat melihat kesenjangan antara kinerja dengan fasilitas yang diterima anggota dewan. “Ini lebih berupa auto kritik kepada DPR agar menjalankan fungsi dan kinerjanya betul kembali untuk kemenangan rakyat,” pungkasnya. DPR harus kembali ke khittah-nya sebagai ruang berbicara rakyat dan memperjuangkan kepentingan publik agar demokrasi Indonesia tetap terjaga dengan baik.