Ruang.co.id – Pengadilan Negeri Surabaya kini menjadi sorotan publik setelah tiga kali menunda pembacaan putusan dalam perkara perdata nomor 710/Pdt.G/2024/PN Sby. Kasus yang menjerat nama Tan Lidyawati Gunawan sebagai penggugat ini seharusnya sudah mencapai titik final pada 9 April 2025, namun hingga kini masih terus tertunda tanpa penjelasan memadai. Penundaan beruntun ini tidak hanya mengganggu proses hukum, tetapi juga mulai menggerogoti kepercayaan publik terhadap kredibilitas lembaga peradilan. Selasa, (06/5/2025).
Gugatan yang diajukan Tan Lidyawati sebenarnya memiliki kelemahan mendasar dari sisi hukum. Pasal 1697 KUHPerdata secara tegas menyatakan bahwa perjanjian penitipan barang harus disertai bukti penyerahan fisik atau dokumen autentik. Namun dalam kasus ini, tidak ada satu pun kwitansi resmi atau saksi mata yang mampu menguatkan klaim penggugat. Xavier Nugraha SH, kuasa hukum dari pihak tergugat, secara tegas menyoroti kejanggalan ini. Menurutnya, seharusnya perkara dengan bukti selemah ini bisa diselesaikan secara cepat dan tidak memerlukan waktu berbulan-bulan untuk diputus.
Situasi semakin rumit ketika dalam salah satu persidangan, muncul pihak ketiga yang tidak memiliki kaitan resmi dengan perkara tersebut. Kehadiran orang asing ini langsung memantik spekulasi tentang adanya intervensi eksternal dalam proses peradilan. Dalam dunia hukum yang seharusnya steril dari pengaruh luar, kejadian seperti ini merupakan alarm bahaya yang tidak boleh diabaikan. Tanpa transparansi dari PN Surabaya, publik hanya bisa berspekulasi tentang motif di balik penundaan berulang kali ini.
Dampak sosial dari kasus ini mulai terasa nyata. Setiap kali pengadilan menunda putusan tanpa alasan jelas, kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan semakin terkikis. Kasus ini bukan sekadar tentang sengketa keluarga biasa, melainkan telah menjadi ujian nyata bagi integritas lembaga peradilan di Surabaya. Masyarakat mulai mempertanyakan konsistensi PN Surabaya dalam menegakkan prinsip keadilan, terutama ketika menghadapi kasus-kasus yang melibatkan pihak-pihak tertentu.
Tanggal 7 Mei 2025 yang menjadi jadwal terakhir pembacaan putusan kini dipenuhi ketegangan. Hari itu tidak hanya akan menentukan nasib para pihak yang bersengketa, tetapi juga menjadi momen penentuan bagi reputasi PN Surabaya. Jika putusan yang dihasilkan dinilai tidak memenuhi standar keadilan prosedural, konsekuensinya bisa sangat serius. Laporan ke Komisi Yudisial mungkin akan mengikuti, dan yang lebih berbahaya adalah semakin dalamnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia.
Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Proses peradilan yang transparan dan bebas dari intervensi adalah pondasi dasar dari negara hukum. Ketika pondasi ini mulai retak, yang terancam bukan hanya satu atau dua perkara, melainkan seluruh bangunan sistem hukum yang telah dibangun dengan susah payah. PN Surabaya kini berada di persimpangan jalan – apakah akan memulihkan kepercayaan publik dengan putusan yang adil, atau justru memperdalam krisis dengan keputusan yang diwarnai berbagai pertanyaan.