Abolisi dan Amnesti: Sahlan Azwar Beberkan Hukum Indonesia Tumbang oleh Politik

Sahlan Azwar Kritik Amnesti
Praktisi hukum Sahlan Azwar, keritisi kebijakan amnesti Hasto Kristiyanto dan abolisi Tom Lembong buktikan hukum Indonesia takluk pada politik. Foto: Ruangcoid
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Kebijakan Presiden Prabowo Subianto memberikan Amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan Abolisi untuk Tom Lembong mendapat kritikan dari praktisi hukum Surabaya, Sahlan Azwar. Hal tersebut menjadi bukti nyata bagaimana penegakan hukum di Indonesia secara sistematis dikalahkan oleh kepentingan politik praktis. Keputusan ini bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan pembunuhan karakter terhadap supremasi hukum yang selama ini digaungkan. Senin, (04/8/2025).

Sahlan Azwar, SH., S.Pd., M.H., CLA, CRA, Praktisi hukum dari Kota Surabaya, membedah paradoks kebijakan ini dengan analisis tajam. Amnesti bagi koruptor seperti Hasto yang notabene Sekjen PDIP adalah pengkhianatan terhadap janji pemberantasan korupsi Prabowo sendiri. Sementara abolisi untuk Tom Lembong menciptakan preseden berbahaya, korupsi bisa dilegalkan selama bermuatan kepentingan ekonomi strategis.

Kasus Hasto Kristiyanto menjadi contoh sempurna bagaimana hukum dipelintir untuk melayani agenda politik. Padahal, secara fakta hukum, mantan Sekjen PDIP ini telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Pemberian amnesti tanpa dasar kemaslahatan publik yang jelas hanya mengukuhkan stereotip bahwa hukum di Indonesia tumpul ke atas tapi tajam ke bawah.

Yang lebih memprihatinkan, legitimasi politik diberikan secara bulat oleh DPR—lembaga yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi. Tidak ada suara kritis, tidak ada mekanisme check and balance, yang ada hanya pembiaran terhadap intervensi kekuasaan ke ranah hukum. Fakta ini membuktikan bahwa reformasi hukum pasca Orde Baru ternyata hanya ilusi.

Argumen kemaslahatan ekonomi yang dipakai untuk membenarkan abolisi Tom Lembong justru membuka kotak Pandora. Jika keuntungan bisnis biasa bisa dikriminalisasi sebagai korupsi, lalu bagaimana investor mau bermitra dengan pemerintah? Namun di sisi lain, kebijakan ini juga mengaburkan batas antara korupsi dan praktik bisnis sehat.

Baca Juga  Amnesti dan Abolisi untuk Kasus Korupsi: Preseden Baru atau Intervensi Politik? Ini Analisis Prof. Dr. Hufron

Sahlan Azwar mengingatkan bahaya yurisprudensi baru dimana korupsi bisa diampuni selama pelaku punya akses politik strategis. Ini adalah preseden buruk untuk pemberantasan korupsi ke depan. KPK yang sudah dilemahkan, kini harus berhadapan dengan kekuatan oligarki politik yang semakin tak terbendung.

Persetujuan bulat DPR terhadap kebijakan ini adalah tanda kematian demokrasi deliberatif. Ketika lembaga perwakilan rakyat diam seribu bahasa melihat hukum diinjak-injak, maka krisis legitimasi demokrasi tidak bisa dihindari. Sahlan Azwar tegas menyatakan: “Jika DPR tidak bisa menjalankan fungsi kontrol, lebih baik bubarkan saja!”

Fenomena ini juga mengukuhkan teori hukum sebagai alat politik ala Marx. Hukum tidak lagi berdiri sebagai panglima tertinggi, melainkan budak bagi kekuasaan. Implikasinya? Ketimpangan hukum akan semakin lebar: rakyat kecil dihukum karena mencuri sandal, sementara koruptor kelas kakap bebas berkeliaran.

Situasi ini membawa kita pada pertanyaan krusial: ke mana arah penegakan hukum Indonesia sebenarnya? Ketika keputusan politik bisa dengan mudah menggeser prinsip keadilan, bukan tidak mungkin kita sedang menyaksikan fase degradasi hukum yang sistematis.

Baca Juga  Kontroversi Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto: Pakar Hukum Soroti Akankah Keadilan Dipertaruhkan?

Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Justru momentum ini seharusnya menjadi alarm bagi seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan koreksi fundamental. Civil society, akademisi hukum, dan media perlu bersinergi menciptakan pressure system yang mencegah intervensi kekuasaan terhadap hukum.

Sahlan Azwar mengingatkan, “Hukum yang kuat membutuhkan masyarakat yang kritis.” Di sinilah peran public watchdog menjadi kunci. Dengan transparansi dan partisipasi publik, bukan tidak mungkin kita bisa mengembalikan hukum pada posisinya sebagai panglima tertinggi dalam bernegara.

Pilihan ada di tangan kita: membiarkan hukum menjadi tumbal politik, atau bersama-sama memperjuangkan sistem peradilan yang independen. Sejarah membuktikan, reformasi hukum selalu mungkin ketika ada kehendak kolektif yang kuat dari masyarakat.