Sidoarjo, Ruang.co.id – Suasana haru sedih mengiris hati, menyelimuti ruang sidang Pengadilan Negeri Sidoarjo, Selasa (22/7), ketika tim kuasa hukum membacakan pledoi untuk terdakwa AFH (32), yang didakwa dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) transplantasi ginjal lintas negara.
Oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), terdakwa AFH dituduh sebagai motivator dalam praktik jual beli organ tubuh ginjal ke India.
Dalam sidang pekan kemarin, JPU menuntut pasutri ini dengan vonis penjara 8 tahun danbayar denda Rp200 juta, dan bila denda itu tak mampu terbayarkan, hukuman penjara akan ditambah genap 8 tahun 6 bulan.
Namun dalam pledoi atau nota pembelaannya, Supolo Setyo Wibowo, S.H., M.H. dan tim hukum dari Graha Keadilan Law Firm Surabaya menegaskan, bahwa AFH hanyalah korban keadaan yang dimanfaatkan karena keterbatasan ekonomi.
“Klien kami bukan pelaku utama, dan juga bukan sebagai motivator seperti yang dituduhkan JPU. Ia hanya pelaksana administratif atas permintaan saksi Siti Nurul Haliza lulusan magister ilmu komunikasi alias Nunu dan adiknya yang juga lulusan S-2 itu, sebagai pembiaya sekaligus pembeli ginjal,” tegas Supolo, kuasa hukum AFH.
Dalam pembelaan itu, terungkap bahwa Nunu, yang justru membiayai seluruh proses dari tiket, visa, hingga kompensasi donor sebesar Rp600 juta, dn sudah mentransfer uang Rp300 juta ke rekening AFH dijadikan sebagai barang bukti persidangan, tidak ditetapkan sebagai tersangka.
Padahal menurut tim kuasa hukum, peran Nunu sebagai inisiator dan penyandang dana sekaligus pembeli untuk orang tuanya sangat vital.
Ahli hukum pidana Dr. Bastianto Nugroho, S.H., M.Hum. yang dihadirkan sebagai saksi ahli bahkan menyebut, “Tanpa adanya pembiaya, tidak akan pernah terjadi tindakan TPPO. Pembiaya adalah penggerak utama.”
Pledoi ini juga menyoroti dampak sosial atas hukuman delapan tahun penjara yang dituntutkan JPU.
Karena AFH merupakan tulang punggung keluarga yang kini menanggung beban psikologis berat akibat proses hukum ini.
“Keadilan tidak akan tegak bila hanya menghukum yang lemah dan membiarkan yang berkuasa bebas,” ujar Eddy Waluyo, S.H., anggota tim hukum terdakwa pasutri.
Tangis pedih mendalam juga dirasakan oleh terdakwa AWSR di ruang sidang Kartika Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo.
Isak tangis istri AFH ini memecah keheningan suasana sidang. Suaranya bergetar, matanya basah.
Perempuan asal Surabaya itu bukan hanya terdakwa dalam perkara tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berkedok donor ginjal, tetapi juga korban dari sistem yang tak memihak orang kecil.
“Terdakwa AWSR hanya ingin membantu sesama. Tidak sepersen pun Ia menerima uang dari proses ini,” ujar Supolo kuasa hukum
AWSR dalam pledoinya, Senin (22/7/2025).
Di hadapan majelis hakim, tim kuasa hukumnya menjelaskan bahwa dirinya sama sekali tidak terlibat dalam transaksi jual beli ginjal.
Ia hanya memfasilitasi komunikasi antara pendonor dan penerima, bahkan membantu biaya hidup pendonor yang terlantar.
“Klien kami AWSR itu hanyalah untuk membantu suaminya layaknya ibu rumah tangga, jika sudah tiba di penginapan di India. Karena AFH ginjalnya tinggal satu, dan tidak bisa mengerjakan aktivitas berat,” ungkap Supolo.
Ironisnya, AWSR kini duduk di kursi pesakitan, sementara sosok yang disebut sebagai pembiaya dan pengendali utama operasi transplantasi ilegal ini, yakni pemilik rumah sakit dan pihak keluarga pasien, tak tersentuh hukum.
Kasus ini bermula saat AWSR membantu pendonor asal Nusa Tenggara Timur yang hendak menjual ginjalnya karena tekanan ekonomi.
Ia yang pernah aktif di kegiatan kemanusiaan, justru merasa diperalat oleh pihak rumah sakit dan keluarga pasien di Jakarta.
Ia dijanjikan akan diberi peran sosial, tetapi berakhir dengan tuduhan TPPO yang kini mengancam hidupnya.
Kuasa hukum AWSR menegaskan, jaksa hanya melihat permukaan perkara. “Klien kami bukan pelaku, dia korban. Tidak satu pun bukti aliran dana ke rekening AWSR. Bahkan, dia menjual perhiasannya sendiri untuk bantu pendonor bertahan hidup,” kata tim kuasa hukum terdakwa.
Pledoi AWSR bukan hanya jeritan pembelaan diri, melainkan cermin realita hukum, bahwa keadilan sering kali tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Bahwa dalam kasus TPPO, hukum masih gagal membedakan siapa pelaku, siapa korban.
“Kami terus berupaya menghadirkan Nunu dan adiknya untuk turut serta duduk di kursi pesakitan pengadilan. Justru pelaku utamanya harus bertanggungjawab juga diadili,” tandas Eddy Waluyo.
“Kami sangat butuh dukungan kepedulian publik dan teman – teman media (Pers), untuk menghadirkan rasa keadilan yang sama,” tandas pungkas Eddy.
Oleh karenanya, tim penasihat hukum memohon terdakwa pasutri kepada majelis hakim, untuk membebaskan AFH dan AWSR, dan merekomendasikan penegakan hukum terhadap pihak pembiaya.
Kalaupun majelis hakim yang menyidangkan berkehendak lain, permohonan terdakwa bersama tim kuasa hukumnya, diganjar vonis hukuman yang meringankan.
Persidangan selanjutnya dijadwalkan minggu depan, dengan sanggahan dari JPU atas Pledoi terdakwa.
Ini yang ditunggu publik sebagai cerminan keberpihakan peradilan terhadap keadilan substansial.
Publik kini bertanya, apakah vonis kelak akan berpihak pada nurani? Atau justru menambah panjang daftar kriminalisasi kemanusiaan di negeri ini?

