Sidoarjo, Ruang.co.id — Sidang lanjutan perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus jual beli ginjal di Pengadilan Negeri Sidoarjo berubah menjadi sorotan nasional setelah fakta-fakta mencengangkan terungkap dari kesaksian para saksi, termasuk adanya kompensasi finansial besar dan peran medsos dalam memuluskan transaksi ilegal tersebut, Selasa (4/6/2025).
Dalam persidangan maraton selama lima jam, Ketua Majelis Hakim D. Herjuna Wisnu Gautama menyoroti kesaksian Siti Nurul Haliza alias Nunu, saksi keempat yang keterangannya berbelit – Belit alias plin-plan dan berbeda dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Nunu mengklaim dirinya menjadi donor ginjal atas dasar sukarela dn ikhlash, namun dalam BAP disebutkan ia menerima kompensasi sebesar Rp600 juta, sebagian sudah ditransfer ke rekening perantara terdakwa AWS sebesar Rp300 juta.
“Anda ini sebelum memberikan kesaksian di sini sudah bersumpah, dan ada sanksi hukumnya terhadap saksi kalau memberikan keterangan berbeda dengan BAP!” tegas Hakim Ketua Herjuna dalam sidang.
Tak hanya Nunu, kesaksian saksi lain, Rina, memperlihatkan sisi kelam realitas ekonomi masyarakat bawah. Ia mengaku menjual ginjalnya atas bujukan sang suami, terdakwa BA, demi mencukupi kebutuhan rumah tangga. Ironisnya, terdakwa BA sendiri pernah menjadi pendonor ginjal dua tahun sebelumnya dan kini berperan sebagai penghubung dengan calon pembeli, yang dikenalnya melalui grup Facebook “Kumpulan Pasien Hemodialisis.”
“Saya tahu total ginjal saya dijual Rp600 juta. Semua biaya berangkat ditanggung pembeli,” kata Rina dengan suara lirih yang membuat suasana ruang sidang hening seketika.
Jaksa Penuntut Umum mengungkap sindikat ini tidak hanya mengandalkan relasi personal, tapi juga membentuk struktur rapi: pembiaya, pendonor, perantara, hingga pengatur logistik perjalanan. Semua ditutupi dalih kemanusiaan, padahal praktiknya adalah perdagangan organ tubuh manusia.
Pihak kuasa hukum terdakwa menilai proses hukum masih timpang, sebab sosok pembiaya seperti Nunu hanya dijadikan saksi padahal memiliki peran sentral. Mereka mendorong prinsip “equality before the law” agar semua pelaku, dari lapangan hingga penyandang dana, diproses secara adil dan proporsional.
Kasus ini mencuatkan urgensi revisi mekanisme pengawasan donor organ, mempertegas hukum, serta mendesak literasi digital agar masyarakat tak mudah terjebak rayuan sindikat via media sosial. Di tengah krisis ekonomi, kisah nyata ini menyisakan pelajaran bahwa kebutuhan tak seharusnya dibayar dengan nyawa, secara harfiah.
Edy Waluyo,SH.,MH. Anggota Supolo Law and Firm dari tim kuasa hukum terdakwa usai persidanganengatakan, bahwa apa yang kami tanyakan dari rasa penasaran terhadap saksi Nunu, sudah terbantu dengn pertanyaan yng disampaikan majelis hakim dan JPU.
“Fatdi fakta persidngan saksi Nunu menyampaikan kalau dia membayar dengan uang senilai Rp300 juta dari Rp.600 juta sisanya setelah operasi tlanspalansi Ginjal, ditambah yang Rp10 juta untuk kebutuhan operasional dari biaya operasional yng terungkap senilai Rp650 juta termasuk biaya operasi di rumah sakit di India, kepada klien kami AWS. Itu artinya telah yerjadi transaksional seperti yang disampikan majelis hakim,” ujar Edy.
“Sudah pasti nantinya kami akan mengajukan pra peradilan atas keterlibatan Nunu yang semestinya juga dijadikan sebagai tersangka,” tandas pungkas Edy.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan, publik kini menanti, apakah keadilan hanya tajam ke bawah, atau bisa menembus batas!.