Tuntutan JPU Dipaksakan untuk Moch Wahyudi di Kasus RPHU

tuntutan JPU dipaksakan
Tuntutan JPU terhadap Moch. Wahyudi dalam kasus korupsi RPHU Lamongan dinilai dipaksakan. Kuasa hukum siapkan pledoi pembelaan untuk sidang 15 September. Foto: Istimewa
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Rumah Potong Hewan Unggas atau RPHU Kabupaten Lamongan kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya. Persidangan dengan nomor perkara 72/Pid.Sus-TPK/2025/PN Sby pada Senin (1/9/2025) ini agendanya adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum atau JPU terhadap terdakwa Moch. Wahyudi.

Dalam persidangan tersebut, JPU menuntut Moch. Wahyudi dengan hukuman 2 tahun penjara serta denda sebesar Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan. Tuntutan pidana penjara ini diajukan dengan menggunakan dakwaan subsider yakni Pasal 3 UU Tipikor Jo. Pasal 55 ayat 1 KUHP. Dakwaan primer dengan Pasal 2 UU Tipikor Jo. Pasal 55 ayat 1 KUHP dinyatakan tidak terbukti berdasarkan hasil persidangan. JPU menilai bahwa terdakwa Moch. Wahyudi yang menjabat sebagai Pengguna Anggaran (PA) sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dianggap telah melakukan penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama dengan dua terdakwa lainnya dalam kasus ini, yaitu Sandi dan Davis.

Muhammad Ridlwan, SH, selaku penasihat hukum terdakwa secara tegas menyatakan bahwa tuntutan JPU terlalu dipaksakan. Kuasa hukum yang membela Moch. Wahyudi ini menyatakan kesiapan kliennya menerima segala vonis namun tetap mengedepankan fakta persidangan. ā€œFakta jelas menunjukkan bahwa peran Pak Wahyudi hanyalah administratif dan telah melalui verifikasi tim teknis. Tidak ada niat jahat di situ,ā€ tegas Ridlwan usai persidangan.

Baca Juga  Kekecewaan Kuasa Hukum Menyusul Ditundanya Sidang Tuntutan Kasus Korupsi RPHU Lamongan

Ridlwan juga menjelaskan bahwa kedua unsur penting dalam hukum pidana yakni actus reus (tindakan nyata) dan mens rea (niat jahat) tidak berhasil dibuktikan sama sekali oleh JPU selama proses persidangan berlangsung. Ia pun mempertanyakan logika hukum dari tuntutan tersebut. ā€œKalaupun JPU tetap menuntut, itu artinya terlalu dipaksakan dan dicari-cari kesalahan. Bahkan, Pak Wahyudi tidak pernah mengenal Sandi maupun Davis, bagaimana bisa dianggap bersama-sama melakukan tindak pidana,ā€ lanjutnya. Pernyataan ini semakin menguatkan bahwa tuntutan terasa dipaksakan untuk menjerat kliennya.

Muhammad Ridlwan lebih lanjut menyoroti adanya ironi dan ketimpangan yang sangat mendasar dalam tuntutan yang diajukan JPU. Moch. Wahyudi yang perannya hanya bersifat administratif dan tanpa dibuktikannya niat jahat justru mendapat tuntutan hukuman yang lebih berat. Sementara itu, dua terdakwa lainnya yaitu Sandi dan Davis yang dalam fakta persidangan terbukti memiliki actus reus dan mens rea justru dituntut lebih ringan.

ā€œDan yang lebih lucu lagi menurut Penasehat hukum Muhammad Ridlwan dalam Tuntutan Terhadap Kliennya Moch Wahyudi lebih tinggi padahal menjalankan tugas administratif PPK juga Actus Reus maupun mens rea tidak terbukti, sementara kedua Terdakwa lainnya yaitu Sandi 1 Tahun 6 bulan dan Denda 100 Juta , Terdakwa Davis 1 tahun 9 bulan. Padahal kedua terdakwa ini dalam fakta persidangan terbukti baik aktus Reus maupun mens rea (niat jahatnya) dalam fakta sidang terbukti dengan nyata. contoh saja dalam perbuatannya Terdakwa Davis melalui Orangnya bernama Joko telah melakukan pemalsuan tandatangan, dokumen dll.ā€ ujarnya. Hal ini menunjukkan ketidakkonsistenan tuntutan dan semakin menguatkan kesan bahwa tuntutan terhadap kliennya dicari-cari.

Baca Juga  Strategi Kooperatif Terdakwa Korupsi RPHU Lamongan

Dengan segala ketimpangan dan keanehan dalam tuntutan tersebut, pihak terdakwa akan menyusun pembelaan atau yang dikenal dengan istilah pledoi. Rencananya, pembelaan ini akan disampaikan secara lengkap pada sidang berikutnya yang telah dijadwalkan pada 15 September 2025. Pledoi ini akan menjabarkan semua fakta persidangan yang justru tidak mendukung tuntutan JPU.

Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara ini, Widodo Hadi Pratama, SH, belum dapat dimintai konfirmasi dan tanggapannya hingga berita ini diturunkan. Di sisi lain, ekspresi dari Ketua Majelis Hakim, Ni Putu Sri Indayani, SH, menjadi sorotan. Pada saat tuntutan dibacakan, sang hakim sempat menunjukkan raut wajah yang kurang biasa dan terlihat tersenyum tipis. Ekspresi ini seolah menyiratkan bahwa ada hal yang ganjil atau tidak biasa dalam tuntutan yang diajukan JPU dalam perkara korupsi RPHU Lamongan ini. Hal ini memberikan gambaran bahwa proses peradilan masih akan berlanjut dengan dinamika yang cukup menarik untuk diikuti.