Sidang RPHU Lamongan Bukti Lemahnya Dakwaan Korupsi, Kerugian Negara Tidak Jelas

sidang RPHU Lamongan
Persidangan kasus korupsi RPHU Lamongan di Pengadilan Tipikor Surabaya. Foto: Ruangcoid
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Persidangan kasus dugaan korupsi proyek Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) Lamongan di Pengadilan Tipikor Surabaya semakin menguak kelemahan mendasar dalam dakwaan Jaksa Penuntut umum. Sidang yang seharusnya menguatkan posisi jaksa penuntut umum justru mempertanyakan validitas dakwaan terhadap Moch. Wahyudi, terdakwa yang menjabat sebagai Kepala Dinas sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen proyek tersebut.

Dalam sidang Senin (04/8/2025), kejanggalan muncul ketika tiga ahli dihadirkan JPU memberikan kesaksian yang seharusnya saling menguatkan dan membuktikan kerugian negara sebagaimana isi dakwaan justru memberikan keterangan yang berbeda dan bertentangan. Kuasa hukum Moch. Wahyudi, Muhammad Ridlwan, SH, menegaskan bahwa perbedaan perhitungan kerugian antara ahli konstruksi ITS dan Kantor Akuntan Publik membuktikan ketiadaan dasar hukum yang kuat dan akurat “Ini menunjukkan kerugian negara sengaja dibesar-besarkan dan belum dapat dipastikan dengan nyata,” tegasnya.

Yang lebih memprihatinkan, Kantor Akuntan Publik ternyata melakukan penghitungan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Penyidik Kejaksaan. “Prosedur yang terbalik ini mengindikasikan sarat dengan rekayasa,” ujar Muhammad Ridlwan. Fakta ini menguatkan dugaan adanya upaya kriminalisasi dalam proses hukum kasus RPHU Lamongan.

Mestinya dalam perkara korupsi dihitung dan ditemukan dulu adanya kerugian keuangan Negara baru dilakukan Penyidikan, bukan dibalik dilakukan Penyidikan dulu baru dihitung berdasarkan BAP kalau seperti ini hasilnya kan sarat dengan pesanan maunya Penyidik dan hasil pemeriksaan juga tidak pernah di konfirmasi, ini kan ngawur. jadi, KAP tidak independen lagi.

Baca Juga  Sidang Tipikor RPHU Lamongan: Dakwaan Tanpa Dasar yang Menggantung di Ruang Pengadilan

Sidang sebelumnya pada Senin (28/7/2025) menghadirkan kejutan ketika saksi-saksi kunci justru membersihkan nama Terdakwa Moch Wahyudi. Heri Prabowo sebagai pelaksana lapangan mengaku berkoordinasi dengan PPTK Nur Jazid, Asna, Doni dan konsultan pengawas Rio, bukan dengan Wahyudi. “Pelaksanaan fisik proyek sesuai Rencana Anggaran Biaya, hanya ada penyesuaian teknis kecil,” jelasnya.

Pernyataan Ketua Majelis Hakim Ni Putu Sri Indayani semakin menguatkan posisi terdakwa: “Nama Pak Wahyudi tidak muncul dalam kesaksian manapun.” Observasi hakim ini menjadi bukti nyata absennya unsur tindakan melawan hukum dan/atau niat jahat Terdakwa Moch Wahyudi dalam kasus ini.

Dalam fakta dakwaan Terdakwa Moch. Wahyudi sepeserpun tidak menerima aliran dana dalam proyek RPH-U, dalam pembuktian keterangan saksi-saksi yang dihadirkan JPU menerangkan bahwa Pak Wahyudi hanya menjalankan tugas administrasi sebagai PPK dan semua bersaksi Pak Wahyudi baik. hingga kini niat Jahat yang harus dibuktikan oleh JPU terhadap Pak Wahyudi juga belum terbukti sebagai kerugian juga tidak jelas.

Pernyataan hakim anggota dalam penutupan sidang patut dicermati “Proyek yang sama diaudit tahun berbeda menghasilkan temuan berbeda. Ini menunjukkan ketidakpastian hukum yang merugikan terdakwa dan ini kasihan menyangkut nasib orang.”

Baca Juga  Gurita Korupsi RPHU Lamongan: PPTK Diduga Dalang di Balik Skema Proyek Fiktif

Pembangunan Gedung RPH-U sebelumnya berdasarkan audit BPK telah ditemukan kerugian Rp. 92 JT lebih dan telah dikembalikan oleh rekanan sebagai mana waktu yang telah ditentukan pada tahun 2023. Tapi dihitung kembali oleh penyidik melalui KAP tahun 2024 dan terdapat beberapa aitem yang sudah dihitung oleh BPK di hitung kembali oleh KAP.

Kuasa hukum Moch. Wahyudi, Muhammad Ridlwan, SH, menilai kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi proyek strategis. “RPHU justru banyak manfaat dan bukan proyek mangkrak dan fakta dalam persidangan justru telah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah secara signifikan,” tegasnya. Dari persidangan terungkap jelas bahwa tidak ada bukti keterlibatan langsung terdakwa, perhitungan kerugian yang tidak konsisten, serta prosedur audit yang tidak independen.

Ridlwan menambahkan, “Kasus ini hanya akan menciptakan efek jera negatif bagi ASN yang menjalankan tugasnya.” Pernyataan ini menggarisbawahi dampak luas dari proses hukum yang dianggap cacat prosedur dan penuh dengan kesewenangan-wenangan.