Ruang.co.id – Pernahkah Anda memperhatikan anak tiba-tiba kehilangan semangat belajar, wajahnya pucat, atau nilai sekolahnya anjlok tanpa alasan jelas? Jangan buru-buru menyalahkan malas atau kurang motivasi. Bisa jadi ini adalah alarm tubuh bahwa si kecil mengalami defisiensi zat besi, masalah yang sering diabaikan padahal berdampak serius pada tumbuh kembang. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa 3 dari 10 anak Indonesia usia sekolah menderita anemia, dengan 60% kasus disebabkan oleh kekurangan zat besi.
Dari Otak Sampai Imun Tubuh: Dampak Mengkhawatirkan Defisiensi Zat Besi
Zat besi bukan sekadar komponen pembentuk darah. Mineral ini adalah kunci produksi hemoglobin, protein vital yang mengangkut oksigen ke seluruh organ—termasuk otak yang sedang berkembang. dr. Rizki Aryo Wicaksono, Sp.A dari RSIA Bina Medika Bintaro menjelaskan bahwa ketika pasokan oksigen ke otak tidak optimal, anak akan menunjukkan gejala seperti sulit fokus, daya ingat lemah, dan lambat memproses informasi. Yang lebih mengkhawatirkan, penelitian jurnal Nutrition Reviews membuktikan bahwa anak dengan anemia defisiensi besi kronis berisiko mengalami penurunan IQ hingga 5-10 poin.
Tidak berhenti di situ, sistem imun anak juga menjadi korban. Sel darah merah yang tidak sehat membuat pertahanan tubuh rapuh, sehingga si kecil mudah terserang infeksi berulang seperti flu atau diare. Dalam jangka panjang, organ-organ vital seperti jantung dan paru bisa mengalami gangguan fungsi karena terus bekerja ekstra keras mengompensasi kekurangan oksigen.
Mengenali Gejala yang Sering Disalahartikan
Kekurangan zat besi pada anak kerap terselubung karena gejalanya mirip dengan kelelahan biasa. Salah satu tanda khas yang jarang diketahui orang tua adalah pica syndrome, kondisi di anak memiliki keinginan mengonsumsi benda non-makanan seperti es batu, tanah, atau kapur. Perilaku ini adalah mekanisme alamiah tubuh mencari sumber zat besi.
Selain itu, waspadai perubahan fisik seperti kuku yang mudah patah atau rambut rontok berlebihan. Pada bayi dan balita, perkembangan motorik yang terlambat—seperti belum bisa duduk di usia 8 bulan atau berjalan di usia 18 bulan—bisa menjadi indikator. Sebuah studi di Pediatric Clinics of North America menemukan bahwa 58% anak dengan defisiensi besi menunjukkan gangguan koordinasi tubuh.
Strategi Cerdas Memenuhi Kebutuhan Zat Besi Harian
Mengandalkan bayam saja tidak cukup. Zat besi dari sumber nabati (non-heme iron) hanya diserap tubuh 2-20%, jauh di bawah besi hewani (heme iron) yang mencapai 15-35%. dr. Rizki menyarankan kombinasi cerdas antara daging merah tanpa lemak, hati ayam, dan makanan laut seperti kerang atau ikan tuna. Untuk meningkatkan penyerapan, padukan dengan sumber vitamin C seperti jambu biji atau pepaya—kombinasi ini terbukti meningkatkan absorpsi zat besi hingga 3 kali lipat.
Bagi orang tua yang menghadapi kendala anak picky eater, fortifikasi nutrisi bisa menjadi solusi. Produk seperti sereal sarapan yang diperkaya zat besi atau susu formula khusus mengandung lactoferrin (protein penyerap besi) telah teruji klinis membantu mengatasi anemia. Namun, suplemen zat besi hanya boleh diberikan atas rekomendasi dokter setelah tes feritin serum untuk menghindari risiko keracunan.
Kapan Harus Konsultasi ke Dokter?
Jika anak menunjukkan gejala seperti sesak napas saat aktivitas ringan, denyut jantung cepat, atau pertumbuhan yang terhambat lebih dari 2 bulan, segera lakukan pemeriksaan darah lengkap. Kadar hemoglobin di bawah 11 g/dL dan feritin serum kurang dari 12 ng/mL adalah indikator kuat defisiensi besi. Intervensi dini sangat krusial karena penelitian membuktikan bahwa efek negatif anemia pada perkembangan kognitif bisa bersifat permanen jika tidak ditangani sebelum usia 2 tahun.