Ruang.co.id – Penarikan kendaraan oleh debt collector di tengah jalan kian meresahkan publik. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan ketakutan, tetapi juga mengancam rasa aman masyarakat. Padahal, tindakan semacam itu dapat digolongkan sebagai tindak pidana dan bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kamis, (22/5/2025).
Secara hukum, kendaraan yang dikreditkan menggunakan sistem jaminan fidusia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 dengan tegas menyatakan bahwa setiap perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.
Namun, kenyataannya banyak perusahaan leasing mengabaikan ketentuan tersebut dan hanya membuat perjanjian di bawah tangan. Kondisi ini tidak memberikan dasar hukum yang kuat bagi perusahaan untuk melakukan eksekusi sendiri terhadap barang jaminan.
Tanpa akta fidusia yang terdaftar, eksekusi kendaraan tidak bisa dilakukan secara sepihak, apalagi di jalanan. Penarikan paksa tersebut dapat dijerat Pasal 365 KUHP tentang perampasan, Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Negara telah mengatur bahwa satu-satunya pihak yang berwenang menarik barang jaminan adalah juru sita pengadilan, melalui mekanisme permohonan eksekusi resmi berdasarkan akta fidusia.
Advokat senior Palenggahan Hukum Nusantara (PHN) Achmad Shodiq,SH.,MH., M.Kn. menjelaskan, āTidak ada alasan hukum yang membenarkan debt collector mengambil kendaraan di jalan, apalagi tanpa akta fidusia yang terdaftar. Itu bisa masuk perbuatan pidana.ā Pernyataan tersebut mempertegas bahwa perlindungan hukum wajib ditegakkan.
Bagi masyarakat yang menjadi korban, sangat penting untuk bertindak secara cepat dan tepat. Dokumentasikan seluruh bukti seperti video kejadian dan surat perjanjian kredit. Jika intimidasi atau kekerasan terjadi, laporkan segera ke kantor polisi. Jangan pernah menandatangani dokumen penyerahan kendaraan jika belum memahami isinya sepenuhnya.
Pendampingan hukum juga sangat disarankan. Lembaga bantuan hukum dan advokat siap memberikan dukungan bagi korban yang merasa tertekan atau terancam. Masyarakat tidak perlu takut menghadapi debt collector, karena hukum berpihak pada warga negara yang tertindas.
āPenagihan utang tidak boleh dilakukan dengan cara-cara barbar. Semua pihak harus patuh pada prosedur hukum,ā imbuh Shodiq. Pernyataan ini mencerminkan urgensi perlindungan hukum terhadap konsumen.
Kejadian seperti ini harus menjadi pengingat bagi publik untuk lebih melek hukum. Jangan biarkan aksi main hakim sendiri dibiarkan. Ketegasan aparat dan kesadaran hukum masyarakat adalah kunci untuk memberantas praktik penarikan paksa yang melanggar aturan.
Masyarakat Indonesia berhak hidup aman tanpa teror di jalan raya, dan hukum wajib hadir sebagai pelindung, bukan sekadar tulisan dalam pasal-pasal undang-undang.

