Surabaya, Ruang.co.id – Kasus dugaan korupsi dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Timur tahun anggaran 2019-2022 terus menjadi sorotan. Tidak hanya dari kalangan hukum dan politik, perhatian juga datang dari budayawan, termasuk Taufik Monyong. Ia menyampaikan kritik tajam terkait penggunaan dana yang dinilai tidak sesuai peruntukannya.
Dalam pernyataannya, Taufik menegaskan bahwa dana hibah memiliki tujuan yang baik untuk mendukung aktivitas masyarakat. Namun, apabila ada pihak yang menyalahgunakannya, hal tersebut menjadi persoalan serius. “Hibah ini sebenarnya motifnya bagus. Tapi ketika pelaksanaannya tidak sesuai, dana ini keluar dari tujuan utamanya dan menjadi tidak bagus,” ungkap Taufik.
Taufik Monyong juga menyoroti lemahnya kesadaran moral di tengah keterbukaan informasi. Menurutnya, pelaku korupsi tidak hanya sekadar tergelincir, tetapi secara sadar memilih untuk “terjun ke jurang” dengan menyalahgunakan dana hibah. Ia menambahkan bahwa dalam konteks kebudayaan, setiap tindakan seharusnya dipikirkan secara matang untuk memastikan manfaat yang nyata tanpa melibatkan risiko melanggar hukum.
“Kalau meminjam istilah Ketua DPD Hanura, Yunianto Wahyudi (masteng), kenapa alokasi 70% dana eksekutif tampak luput dari perhatian dibandingkan 30% dana legislatif. Jika 30% diusut lalu bagaimana dengan 70 persen lainnya? Harus ada kejelasan menyeluruh. Jika hanya sebagian yang disorot, patut dicurigai ada kolusi di baliknya,” Taufik.
Kasus ini tengah diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mantan Ketua DPRD Jawa Timur, Kusnadi, menjadi salah satu tokoh utama yang diperiksa dalam penyelidikan. Selain itu, 17 anggota DPRD Jawa Timur periode 2019-2024 turut dipanggil sebagai saksi, termasuk beberapa tokoh seperti Agus Wicaksono (Ketua Badan Kehormatan DPRD), Abdul Halim (Ketua Komisi C), dan Alyadi (Ketua Komisi B).
Pemeriksaan berlangsung di Kantor BPKP Perwakilan Jawa Timur untuk menggali lebih dalam proses penganggaran, persetujuan, hingga pencairan dana hibah. Pada Juli 2024, KPK menetapkan 21 tersangka yang terdiri dari anggota DPRD dan pihak eksekutif. Dugaan kuat mengarah pada adanya kolusi dan manipulasi dalam distribusi dana hibah senilai miliaran rupiah.
Dana hibah pokmas seharusnya dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan masyarakat, seperti pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan. Namun, penyalahgunaan dana tersebut tidak hanya melukai kepercayaan masyarakat, tetapi juga menghambat pembangunan sosial.
Budayawan Taufik Monyong menambahkan, pelaku korupsi harus dihukum dengan tegas tanpa kompromi. “Hukum tidak boleh main-main. Jika sudah ada indikasi kuat, penegakan hukum harus dilakukan secara transparan dan menyeluruh,” tegasnya.
Kasus dugaan korupsi dana hibah pokmas di Jawa Timur menjadi tamparan keras bagi penegakan hukum di Indonesia. Sorotan dari berbagai kalangan, termasuk budayawan seperti Taufik Monyong, menunjukkan bahwa persoalan ini bukan hanya urusan hukum, tetapi juga moral dan etika. Transparansi dan keadilan menjadi kunci utama untuk menyelesaikan kasus ini demi mengembalikan kepercayaan publik.