Ruang.co.id – Ratusan massa dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Provinsi Jawa Timur Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya berhasil menggagalkan upaya eksekusi rumah milik ahli waris Pejuang 45, Laksamana Madya (Laksdya) Purn. Soebroto Hoedono, oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Aksi ini terjadi pada Kamis (27/2/2025) di Jalan Raya dr. Soetomo No. 55, Surabaya.
Massa GRIB Jaya yang datang dari berbagai DPC se-Jawa Timur memblokade area sekitar rumah sejak pagi hari. Mereka bertekad melindungi aset keluarga Tri Kumala Dewi, ahli waris Laksdya Soebroto, dari upaya penyitaan oleh tim juru sita PN Surabaya. Aksi ini merupakan yang kedua kalinya setelah sebelumnya digagalkan bersama LSM MAKI, PSHT, dan FKPPAL.
Aksi ini dipimpin oleh sejumlah tokoh GRIB Jaya, termasuk Anis Roga (mantan petinju nasional), drg. David Andreasmito, Ahmad Miftakhul Ulum (Ketua DPD GRIB Jaya Jatim), dan H. Slamet (Ketua DPC GRIB Jaya Sidoarjo). Mereka menggelar orasi pembelaan di atas mobil komando, menyerukan pembatalan eksekusi dan mengkritik keras dugaan praktik mafia tanah.
“Kami tidak akan tinggal diam. Jika PN Surabaya tetap nekat melakukan eksekusi, kami akan menghadirkan massa yang lebih besar lagi,” tegas drg. David dalam konferensi pers.
Selain GRIB Jaya, aksi ini juga didukung oleh LSM Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) yang diwakili oleh Heru Satriyo. Ia menegaskan bahwa kasus ini merupakan contoh nyata ketidakadilan yang harus dilawan.
Rumah yang menjadi sengketa ini memiliki sejarah panjang. Laksdya Soebroto Hoedono, ayah Tri Kumala Dewi, menerima rumah tersebut sebagai hadiah dari KSAL Sudomo atas prestasinya sebagai Panglima Armada Nusantara TNI AL. Pada 1 Desember 1963, rumah ini resmi ditempati oleh keluarga Soebroto berdasarkan surat izin dari TNI AL.
Pada 28 November 1972, rumah tersebut dibeli secara resmi oleh Soebroto dengan pembayaran lunas. Namun, sepeninggal Soebroto, muncul klaim dari dr. Hamzah Tedjakusumah yang mengaku memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas rumah tersebut.
“Kami tidak pernah tahu rumah ini dijualbelikan. Tiba-tiba saja ada gugatan dari orang yang tidak kami kenal,” ujar Tri Kumala Dewi, ahli waris yang kini menghadapi pertarungan hukum berlarut-larut.
Kasus ini semakin rumit ketika dr. Hamzah menjual sertifikat tanah tersebut kepada Rudianto Santoso pada 2008. Rudianto kemudian menggugat Tri Kumala Dewi dengan tuduhan pemalsuan dokumen. Meski pengadilan memenangkan Tri pada 2010, Rudianto justru menjual tanah tersebut kepada Handoko Wibisono pada 2016.
Handoko kemudian memenangkan gugatan terhadap Tri dan meminta ganti rugi sebesar Rp 5,4 miliar. Padahal, Tri telah membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp 484 juta.
“Ini jelas cacat hukum. Bagaimana mungkin transaksi dilakukan oleh orang yang berstatus DPO?” tanya drg. David.
Aksi GRIB Jaya ini mendapat dukungan luas dari masyarakat. Mereka menuntut keadilan dan menghentikan praktik mafia tanah yang merugikan banyak pihak. “Kami akan terus berjuang untuk membela hak-hak rakyat yang terzhalimi,” tegas Ahmad Miftakhul Ulum.
Sementara itu, PN Surabaya memutuskan menunda eksekusi setelah berhadapan dengan massa GRIB Jaya. Namun, juru sita PN menolak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai alasan penundaan tersebut.
Dengan aksi ini, GRIB Jaya dan masyarakat berharap kasus ini menjadi perhatian serius pemerintah untuk memberantas praktik mafia tanah dan peradilan yang merugikan rakyat kecil